Dari hamparan jilbab/ Sebagian menutupi muka/ Kenapa? kenapa?/ Sedang dengan jiwa kumuh/ Wajah sejati tertutup sendiri/ Tanpa ditutupi/.., (Emha Ainun Najib, ’’Lautan Jilbab’’, 1989).PUISI, begitulah orang menyebut deretan kata penuh makna. Orang acapkali susah mendapati makna yang termaktub. Orang acapkali senang dengan kepingan kata-kata yang tercecer, lalu disatukan dalam sepenggal puisi. Orang acapkali pula mengacuhkan deru kebermaknaan puisi, tapi merasai dalam kebermaknaan batin dan kepekaan intuisi.
Emha Ainun Najib, penyair kondang dan religius ini tampaknya tak sedang melantur. Sajian puisinya adalah bentuk kontemplasi yang hendak disampaikan pada perempuan di negeri ini, perempuan yang berjilbab.
Negeri ini sedang dilanda ’’demam jilbab’’. Para kaum hawa, terutama yang muslim sedang menikmati pakaian jilbab dengan beragam desain yang modis. Jilbab tak lagi sekadar penutup tubuh atau kepala yang berorientasi pada dogma agama, tapi lebih sebagai bagian dari budaya modern. Ingar bingar dunia fashion dan berputarnya roda kapitalisme ikut dan turut serta memengaruhi perkembangan jilbab itu sendiri. Apalagi saat bulan Ramadan yang baru lalu, kita bisa dengan mudah mendapati para perempuan mengenakan jilbab di segala ruang.
Teologi Jilbab
Jika menengok pada sejarah, jilbab sudah hadir saat pra-Islam. Syariat Islam menyebut: ’’Hai Nabi, katakan pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita yang beriman untuk mengenakan jilbab mereka sehingga mereka dapat dikenali dan tidak diganggu.’’ (Alquran, Surat Al-Ahzab [33], ayat 59).
Seruan ayat ini bukan tanpa alasan. Tuhan hendak melindungi kaum hawa dari segala perbuatan nista yang kerap dialami, entah dari dirinya sendiri atau dari kaum adam.
Dalam teologi Kristen dan Katolik, jilbab dijelaskan dalam relasi sakral manusia dan Tuhan. Para suster gereja kerap mengenakan jilbab sebagai pelindung tubuh dan bermakna sakral. Al Kitab (11:13) menyebut: Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala tidak bertudung? Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh umat Kristen selalu mengenakan jilbab. Kerap ia mengenakan jilbab bernuansa putih dan sentuhan garis biru. Warna yang dipilih menandai keramahan dan kepeduliannya terhadap sesama.
Agama lain, seperti Buddha dan Hindu juga tak luput dari tradisi berjilbab. Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) digambarkan memakai pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup kepala. Atau di India, orang Hindu banyak mengenakan jilbab sebagai pakaian keseharian. Bisa diambil konklusi secara teologis, jilbab merupakan identitas berbagai budaya dan agama.
Orientasi Berjilbab
Akar kultural-spiritual menandai jilbab bukan identitas dari agama tertentu. Persoalannya, kebermaknaan jilbab kini terasing dari entitas aslinya. Jilbab sendiri telah menjadi komoditas pasar. Ditambah maraknya iklan dan para artis yang mengenakan jilbab tentu membuat jilbab semakin populer.
Dari konvensi kultural-spiritual, jilbab memiliki ruang yang lebih simplistis. Ia tak lagi dikekang pada aturan agama, tapi lebih elastis dalam bergerak menemukan dirinya. Terbukti dengan tampilan jilbab yang sekarang berkembang dengan segala tampilannya. Kendati demikian, mungkin naif jika hanya mempermasalahkan pasar dalam tataran tertentu.
Pada tataran dimensi fungsional, Fadwa El Guindi dalam Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan (2003) menulis, jilbab memiliki dimensi material, dimensi ruang, dimensi komunikatif, dan dimensi religius.
Pertama, dimensi material berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab, dalam arti bagian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah. Kedua, dimensi ruang, mengartikan jilbab sebagai layar yang membagi ruang secara fisik. Ketiga, dimensi komunikatif, menekankan makna penyembunyian dan ketidaktampakan.
Keempat, dimensi religius bermakna pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual (tidak kawin) (El Guindi, 2003).
Perempuan berjilbab kerap diidentikan dengan kesalehan dan kesantunan. Saya berpikir, bukan jilbab yang menentukan kesalehan (spiritualitas) pemakainya. Dengan kata lain, niat dalam pengenaan jilbab itu yang lebih berlaku secara fundamental. Hingga akhirnya, di kala terjadi ’’penyelewengan perilaku’’ pada perempuan berjilbab, orang tidak lekas menyalahkan agamanya. Ada relasi lain yang perlu dibuktikan hingga orang tidak lekas menyalahkan. Relasi keimanan seseorang lebih menentukan kebermaknaan jilbab itu sendiri bagi si pemakai. Niscaya jilbab dapat menemukan rohnya kembali dalam tataran fungsional. (24
Emha Ainun Najib, penyair kondang dan religius ini tampaknya tak sedang melantur. Sajian puisinya adalah bentuk kontemplasi yang hendak disampaikan pada perempuan di negeri ini, perempuan yang berjilbab.
Negeri ini sedang dilanda ’’demam jilbab’’. Para kaum hawa, terutama yang muslim sedang menikmati pakaian jilbab dengan beragam desain yang modis. Jilbab tak lagi sekadar penutup tubuh atau kepala yang berorientasi pada dogma agama, tapi lebih sebagai bagian dari budaya modern. Ingar bingar dunia fashion dan berputarnya roda kapitalisme ikut dan turut serta memengaruhi perkembangan jilbab itu sendiri. Apalagi saat bulan Ramadan yang baru lalu, kita bisa dengan mudah mendapati para perempuan mengenakan jilbab di segala ruang.
Teologi Jilbab
Jika menengok pada sejarah, jilbab sudah hadir saat pra-Islam. Syariat Islam menyebut: ’’Hai Nabi, katakan pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita yang beriman untuk mengenakan jilbab mereka sehingga mereka dapat dikenali dan tidak diganggu.’’ (Alquran, Surat Al-Ahzab [33], ayat 59).
Seruan ayat ini bukan tanpa alasan. Tuhan hendak melindungi kaum hawa dari segala perbuatan nista yang kerap dialami, entah dari dirinya sendiri atau dari kaum adam.
Dalam teologi Kristen dan Katolik, jilbab dijelaskan dalam relasi sakral manusia dan Tuhan. Para suster gereja kerap mengenakan jilbab sebagai pelindung tubuh dan bermakna sakral. Al Kitab (11:13) menyebut: Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala tidak bertudung? Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh umat Kristen selalu mengenakan jilbab. Kerap ia mengenakan jilbab bernuansa putih dan sentuhan garis biru. Warna yang dipilih menandai keramahan dan kepeduliannya terhadap sesama.
Agama lain, seperti Buddha dan Hindu juga tak luput dari tradisi berjilbab. Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) digambarkan memakai pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup kepala. Atau di India, orang Hindu banyak mengenakan jilbab sebagai pakaian keseharian. Bisa diambil konklusi secara teologis, jilbab merupakan identitas berbagai budaya dan agama.
Orientasi Berjilbab
Akar kultural-spiritual menandai jilbab bukan identitas dari agama tertentu. Persoalannya, kebermaknaan jilbab kini terasing dari entitas aslinya. Jilbab sendiri telah menjadi komoditas pasar. Ditambah maraknya iklan dan para artis yang mengenakan jilbab tentu membuat jilbab semakin populer.
Dari konvensi kultural-spiritual, jilbab memiliki ruang yang lebih simplistis. Ia tak lagi dikekang pada aturan agama, tapi lebih elastis dalam bergerak menemukan dirinya. Terbukti dengan tampilan jilbab yang sekarang berkembang dengan segala tampilannya. Kendati demikian, mungkin naif jika hanya mempermasalahkan pasar dalam tataran tertentu.
Pada tataran dimensi fungsional, Fadwa El Guindi dalam Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan (2003) menulis, jilbab memiliki dimensi material, dimensi ruang, dimensi komunikatif, dan dimensi religius.
Pertama, dimensi material berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab, dalam arti bagian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah. Kedua, dimensi ruang, mengartikan jilbab sebagai layar yang membagi ruang secara fisik. Ketiga, dimensi komunikatif, menekankan makna penyembunyian dan ketidaktampakan.
Keempat, dimensi religius bermakna pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual (tidak kawin) (El Guindi, 2003).
Perempuan berjilbab kerap diidentikan dengan kesalehan dan kesantunan. Saya berpikir, bukan jilbab yang menentukan kesalehan (spiritualitas) pemakainya. Dengan kata lain, niat dalam pengenaan jilbab itu yang lebih berlaku secara fundamental. Hingga akhirnya, di kala terjadi ’’penyelewengan perilaku’’ pada perempuan berjilbab, orang tidak lekas menyalahkan agamanya. Ada relasi lain yang perlu dibuktikan hingga orang tidak lekas menyalahkan. Relasi keimanan seseorang lebih menentukan kebermaknaan jilbab itu sendiri bagi si pemakai. Niscaya jilbab dapat menemukan rohnya kembali dalam tataran fungsional. (24
MasyaAllah
BalasHapus